• Text

      AM630 AM404 AM251 AM1172 AM-2201 JWH-018 JWH-073 JWH-081 JWH

      Please Contact

      AM630 AM404 AM251 AM1172 AM-2201 JWH-018 JWH-073 JWH-081 JWH

      buy and sell > other

      We would like to introduce you with the new generation of our Chemical products.We are offering you new products - strong, high quality non cathinone products.We are currently offering legal and all-powerful chemicals, herbs, powder and pills.

      Senin, 15 Oktober 2012

      Misteri Karpet 2 x 1 Jelang Wafatnya Gus Dur



      Misteri Karpet 2 x 1 Jelang Wafatnya Gus Dur
      Jakarta, NU Online
      Beberapa hari sebelum meninggal, Gus Dur meminta Pak Acun, panggilan Akrab KH Abdul Wahid Maryanto, untuk membelikannya karpet berukuran 2 x 1 meter yang lumayan empuk dan dengan harga sekitar Rp 300.000,- Pak Acun adalah salah seorang murid sekaligus teman akrab yang menemani Gus Dur saat dirawat di rumah sakit.

      Tanpa banyak bertanya Pak Acun langsung berangkat. Ia bergegas ke bebarapa pusat perbelanjaan terbesar di Jakarta, tapi karpet dengan ukuran 2 x 1 meter itu tidak ditemukan. Pak Acun kembali menghadap Gus Dur.

      “Tidak ada karpet yang seukuran itu Gus. Ada sih tapi harus dipotong beberapa senti (cm),” kata Pak Acun. Namun Gus Dur tetap memintanya untuk mencari karpet dengan ukuran itu, harus pas dengan ukuran yang dipesan dan tidak bisa dipotong.

      Sampai-sampai uang Rp 300.000,- itu pun habis hanya untuk berkeliling pusat perbelanjaan dan menelpon orang kesana-kemari untuk menayakan perihal karpet 2 x 1. Pak Acun akhirnya menyerah, dan kembali menghadap Gus Dur. Ia bertanya, “Sebenarnya untuk apa karpet itu Gus?”.

      Dengan sedikit kesal Gus Dur menjawab, karpet itu akan dibeber di bawah ranjang Gus Dur, dan Pak Acun akan disuruhnya tidur di karpet itu sambil menemani Gus Dur yang sedang sakit. Biasanya Pak Acun diminta Gus Dur untuk membacakan bebarapa buku dan kitab kuning, lalu Gus Dur bercerita atau berkomentar tentang buku atau kitab kuning yang dibaca. Pak Acun mengenang saat ia diminta Gus Dur membacakan Serat Centhini, lalu Gus Dur bercerita soal Al-Hallaj dan Syekh Siti Jenar.

      Setelah menyampaikan laporan, Pak Acun keluar rumah sakit, dan ia tetap berusaha mencari karpet yang dipesan Gus Dur. Dan… Sampai Gus Dur meninggal ia belum mendapatkan karpet dengan ukuran itu. Bahkan Pak Acun tidak ada bersama Gus Dur pada saat Gus Dur menghembuskan nafas terakhirnya.

      Pak Acun juga tidak bisa berada di dekat makam pada saat pemakaman Gus Dur, karena saking banyaknya orang yang ingin mengikuti prosesi pemakaman itu. Namun sesaat setelah pemakaman ia berada di samping makam Gus Dur, dan dia baru menemukan misteri 2 x 1 itu.

      “Ternyata, 2 x 1 meter itu adalah liang lahat,” katanya sambil berdoa di samping makam Gus Dur.

      Cerita ringan ini disampikan Pak Acun sendiri di ruang redaksi NU Online, Jum’at (22/1). Pak Acun adalah salah seorang pengasuh Pondok Pesantern Al-Kenaniyah Jakarta Timur yang juga pengasuh Pondok Pesantren Ciganjur.

      Pada saat Gus Dur mengaji di bulan Ramadhan di Masjid Al-Munawwarah bersama para santri Ciganjur, Pak Acun selalu berada disamping Gus Dur. Ia juga yang bertugas membangunkan Gus Dur saat tertidur di sela-sela pembacaan kitab kuning. (nam)

      http://nu.or.id/page/id/dinamic_detil/1/21248/Warta/Misteri_Karpet_2_x_1_Jelang_Wafatnya_Gus_Dur.html

      Senin, 08 Oktober 2012



      Suatu hari Ketua Umum PBNU, Gus Dur, kedatangan rombongan kyai dan aktivis NU dari Lampung. Agendanya silaturahim dan ngobrol sana sini, saling bercerita berkembangan, dan tentu saja berbagi humor.

      Tapi sayang, di tengah hangatnya obrolan, seorang kyai yang sudah berumur batuk-batuk terus, hingga menjadi perhatian seisi ruangan.

      “Obatnya diminum belum Kyai?” tanya seorang anakmuda.

      “Sudah tadi pagi,” jawab kyai sambil batuk.

      “Tidur saja kyai, istirahat di mushola,” saran seorang kyai yang duduk di sampingnya.

      “Jauh-jauh dari Lampung ke PBNU, sepuluh jam perjalanan, bayarnya mahal, masa sampai sini tidur,” jawab kyai sambil menutup mulutnya dengan dengan.

      Gus Dur yang duduk di tengah-tengah, akhirnya angkat bicara, ”Makanya Kyai, jauhi Narkobar!”

      “Ah, Sampean itu ada-ada saja, Gus. Saya tahu saja tidak itu Narkoba,” jawab kyai.

      “Lha itu di saku sampean ada apanya?” tanya Gus Dur enteng.

      “Ini rokok, Gus, bukan Narkoba!” jawab kyai lagi.

      “Lah iya, saya dari tadi bilang, jauhi Narkobar,” kata Gus Dur.

      “Narkoba? ‘R’-nya apa, Gus?” tanya pemuda yang duduk di pojok.

      “Rokok,” jawab Gus Dur disambut gelak tawa terbahak-bahak. (Hamzah Sahal)

      Gus Dur dan Kewalian Mbah Liem



      GUS DUR mengenalkan KH Muslim Rifa'i Imampuro atau yang lebih dikenal dengan Mbah Liem, sebagai Wali Allah. Di obrolan terbatas, di pengajian umum, Gus Dur bilang bahwa Mbah Liem itu wali. Kepada wartawan, Gus Dur juga bilang demikian. Ta syak, khalayak ramai percaya Mbah Liem Wali.

      M. Said Budairy pernah bercerita pada saya. Suatu kesempatan, dirinya bertanya tentang kewalian Mbah Liem, langsung kepada Mbah Liem, waktu itu Gus Dur juga ada di tengah-tengah keduanya. Mereka ngobrol santai-santai selepas Magrib, di kantor PBNU.

      “Mbah, di mana-mana Gus Dur bilang Sampean Wali. Bagaimana ceritanya?” tanya Budairy, mungkin iseng, mungkin juga serius.

      “Hahaha... Sampean diapusi Gus Dur,” jawab Mbah Liem sambil terkekeh-kekeh.

      “Lho, saya tanya serius Mbah. Saya juga pengen jadi wali,” desak Budairy. Tawa dia antara mereka makin keras, Gus Dur yang tadinya serius baca majalah pun ikut tertawa.

      “Begini Mas Said. Gus Dur pancen jago mempromosikan sahabat-sahabatnya, termasuk mempromosikan saya yang pendek, kurus, ndeso, bahasa Indonesia ora lancar,” Mbah Liem menjelaskan.

      “Maksudanya pripun, Mbah?” Budairy tidak paham.

      “Maksudnya biar saya terkenal, terangkat derajatku, dilirik orang,” ujar Mbah Liem enteng.

      “Kok Gus Dur endak promosiin saya sebagai wali ya?” tanya Budairy sambil tertawa dan melirik Gus Dur.

      “Lho, Sampean kan sudah jadi orang. Tinggal di tengah kota, jurnalis senior, aktivis PBNU, koncone okeh,” tambah Mbah Liem kalem. Budairy mantuk-mantuk. Gus Dur masih baca majalah. (Hamzah Sahal)

      Kang Said dan Kewalian



      Waliyullah atau Wali Allah adalah derajat atau maqom yang luhur, tak bisa dijangkau oleh orang biasa. Secara bahasa saja, makna wali Allah bikin bulu kuduk berdiri bagaimana tidak, wali Allah bermakna kekasih Allah, pembela Allah, bahkan Gus Mus dalam sebuah tulisannya memaknai dengan bolo (teman) Allah.

      Tapi juga, wali Allah ini derajat yang kontroversi dan pelik menilainya. Apakah ada wali Allah itu? Kalau ada, siapa? Bagaimana ciri-cirinya? Derajat kewalian ini makin tak tersentuh dengan kaidah ‘kewalian hanya bisa diketahui oleh seorang wali’.

      “Pengen saya jadi wali Allah. Tapi kayaknya susah sekali,” cerita Kang Said Aqiel pada sebuah kesempatan pidato di kampus Universitas Indonesia baru-baru ini. Para hadirin terdiam dengan lontaran ketua umum PBNU ini.

      Tapi, sejurus kemudian, hadirin tertawa tanpa dikomando, setelah Kang Said mengatakan begini, “Karena susah jadi wali Allah, maka saya jadi wali amanah di UI saja.” (Hamzah Sahal)

      Malaikat pun Dibikin Bingung Beda Awal Puasa

      Awal Ramadhan selalu membikin bingung masyarakat, mau ikut siapa. Pemerintah punya pendapat, ada pula ormas Islam yangkeukeuh dengan tafsirnya sendiri. Masing-masing adu argumentasi dan perang opini, tak peduli masyarakat yang menjadi korban ketidaksepakatan para elit ini.

      Syahdan, ternyata yang kebingungan bukan hanya masyarakat di pelosok desa dan kota se-Indonesia, para malaikat pun mengalami hal yang sama.

      “Ini setan-setan harus dipenjara kapan ya? Ikut penetapan pemerintah apa ormas Islam yang puasa lebih awal”

      Karena tidak bisa mengambil keputusan, akhirnya dilakukan rapat besar para malaikat untuk menentukan kapan setan-setan harus masuk bui. Kesepakatannya, setan yang biasa menggoda pengikut ormas yang puasa lebih awal, masuk kerangkeng lebih dulu, sedangkan lainnya esok harinya. Ini hasil yang dirasa ideal dan adil.

      Sayangnya, ketika dilakukan eksekusi di lapangan, situasi yang dialami jauh berbeda. Dalam razia dan penangkapan, para setan protes, semuanya mengaku ikut ketetapan pemerintah “Lumayan, bisa bebas sehari lebih lama” pikir para setan.

      Para malaikat lalu melakukan rapat kilat untuk mengatasi situasi darurat ini akibat ulah setan yang sengaja berkelit dan mangkir dari ketentuan azali ini. Lalu diputuskan, semuanya masuk penjara lebih awal sehari sesuai dengan jadual puasa ormas Islam itu.

      Tak kehilangan akal, para setan pun mengajukan protes, “Sebagai makhluk tuhan yang ditugaskan menggoda, kita masih boleh menggoda manusia sampai besok. Ramadhan kurang satu hari kok kita sudah pada dikerangkeng”

      Nah lho… malaikat pun kembali kebingungan, karena berdasarkan ketetapan dalam kitab suci, setan hanya akan masuk kerangkeng pas bulan puasa, tidak boleh ditambah atau dikurangi harinya. (mukafi niam)

      Akal-akalan Kiai Bisri Mustofa

      Perbedaan pandangan yang meruncing dua pimpinan NU, antara Kiai Idham Chalid dengan Pak Subhan ZEmembuat para sesepuh prihatin. Mbah Kiai Ma’shum Lasem pun memanggil Kiai Bisri Mustofa.

      “Sri, mbok Sampeyan bikin ikhtiar untuk merukunkan Idham sama Subhan!” perintahnya Mbah Ma'shum.

      Kiai Bisri garuk-garuk kepala. Ia memahami keprihatinan para sesepuh. Di sisi lain, ia sendiri punya dugaan bahwa mungkin saja “perselisihan” di antara dua pemimpin itu disengaja, paling tidak diperlukan. Kenapa?

      Indonesia dan NU sedang dalam masa-masa genting peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru. Ada harapan-harapan, tapi tak ada yang bisa memastikan apa yang akan dilakukan oleh Soeharto, si penguasa baru.

      Di depan mata hanya ada pilihan-pilihan sulit. Oleh karenanya, “perselisihan” di antara kedua pemimpin itu ibarat “menyediakan sekoci di tengah badai”.

      Kiai Bisri merasa, tidak mudah menjelaskan pikirannya itu kepada Mbah Ma’shum, sedangkan ia terlalu takdim kepada beliau. Maka ia berusaha mengelak:

      “Panjenengan yang sepuh kan lebih berwibawa, ‘Yai.”

      “Nggak bisa! Ini soal rumit. Harus pakai akal-akalan. Sampeyan kan banyak akal!” Mbah Ma’shum memaksa.

      Tak berkutik, Kiai Bisri pun mematuhi perintah Mbah Ma’shum, yakni merancang akal-akalan.

      Kiai Bisri lantas beli satu peti Green Spot (soft-drink yang populer waktu itu) dan satu peti sirup Kawis (sirup khas produk Rembang).

      Ia suruh santri mengantarkan Peti Green Spot kepada Pak Subhan ZE dengan pesan: “Dari Kiai Idham Chalid, mohon tanda terima”.

      Pada saat yang sama, santri lain disuruh mengantarkan limun Kawis kepada Pak Idham dengan pesan: “Dari Pak Subhan ZE, mohon tanda terima”.

      Maka diperolehlah dua lembar tanda terima:

      1. “Telah terima satu peti Green Spot dari KH Idham Khalid. Terimakasih sebesar-besarnya. Ttd: Subhan  ZE”

      2. “Telah terima satu peti limun Kawis dari Saudara Subhan ZE. Jazaakumullah. Ttd: Idham Chalid”.

      Kiai Bisri menghaturkan kedua lembar tanda terima itu ke hadapan Mbah Ma’shum.

      “Sudah bisa rukun, Yai”, ia melapor, “lha ini sudah saling kirim-kiriman…”

      Mbah Ma’shum sumringah. (TerongGosong)

      Beras Dan Pasir



      Syekh Maulana Malik Ibrahim adalah anggota wali songo urutan pertama. Beliau menyiarkan Islam ke tanah Jawa sambil berdagang. Bagai kunang-kunang besar yang memanggul cahaya, Maulana Malik Ibrahim datang menerangi tanah Jawa dengan Islam.

      Suatu hari dalam perjalanan dakwah ke sebuah dusun yang diberkahi dengan tanah subur, Syekh Maulana Malik Ibrahim bersama seorang muridnya singgah di sebuah rumah. Rumah itu milik orang kaya. Menurut desas-desus pemilik rumah itu amat kikir.

      Padahal si empunya rumah adalah orang berada yang memiliki berton-ton beras. Halaman rumahnya luas. Di sana tersusun berkarung-karung beras hasil pertanian. Rupanya Syekh Maulana Malik Ibrahim ingin menemui si empunya rumah yang tak lain adalah salah seorang muridnya. Ia ingin menasihati muridnya agar meninggalkan sifat jelek itu.

      Orang kaya tersebut menerima dengan ramah kunjungan Syekh Malik. Dihidangkanlah jamuan yang baik bagi Syekh Malik. Sesaat berselang, datanglah seorang pengemis, perempuan tua, ke hadapan orang kaya itu.

      “Tuan, saya lapar sekali, bisakah saya minta sedikit beras,” ujar perempuan tua itu sambil melirik beras yang bertumpuk di halaman.

      “Mana beras? Saya tidak punya beras, karung-karung itu bukan beras, tapi pasir,” ujar orang kaya itu.

      Pengemis tua tertunduk sedih. Ia pun beranjak pergi dengan langkah gontai. Kejadian itu disaksikan langsung oleh Syekh Malik. Ternyata apa yang digunjingkan orang tentang kekikiran muridnya ini benar adanya. Syekh Malik bergumam dalam hati, dan iapun berdo’a. Pembicaraan yang sempat tertunda dilanjutkan kembali.

      Tiba-tiba ramah-tamah antara murid dan guru itu terhenti dengan teriakan salah seorang pembantu orang kaya itu.


      “Celaka tuan, celaka! Saya tadi mengecek beras, ternyata beras kita sudah berubah jadi pasir. Saya periksa karung lain, isinya pasir juga. Ternyata tuan, semua beras yang ada di sini telah menjadi pasir!” Pembantu itu dengan suara bergetar melaporkan.

      Orang kaya itu kaget, segera ia beranjak dari duduknya, dihampirinya beras-beras yang merupakan harta kekayaannya itu. Ternyata benar, beras itu telah berubah menjadi pasir. Seketika tubuh orang kaya itu lemas. Ia pun bersimpuh menangis.

      Syekh Malik lalu menghampirinya. “Bukankah engkau sendiri yang mengatakan bahwa beras yang kau miliki itu pasir, kenapa kau kini menangis?” Syekh Malik menyindir muridnya yang kikir itu.

      “Maafkan saya Sunan. Saya mengaku salah. Saya berdosa!” Si murid meratap bersimpuh di kaki Syekh Malik.

      Syekh Malik tersenyum, “Alamatkan maafmu kepada Allah dan pengemis tadi. Kepada merekalah permintaan maafmu seharusnya kau lakukan,” ujar Syekh Malik lagi.

      Penyesalan yang dalam langsung menyergap orang kaya itu. Dalam hati ia mengutuk dirinya sendiri yang telah berbuat kezaliman. Kepada Syekh Malik ia berjanji akan mengubah semua perbuatannya. Ia mohon juga agar berasnya bisa kembali lagi seperti semula. Kekikirannya ingin ia buang jauh-jauh dan menggantinya dengan kedermawanan.

      Syekh Malik kembali berdo’a, dan dengan izin Allah, beras yang telah berubah menjadi pasir itu menjadi beras kembali. Hidayah dan kekuatan yang berasal dari Allah memungkinkan kejadian itu.

      Orang kaya tersebut tidak membohongi lisannya. Ia berubah menjadi dermawan, tak pernah lagi ia menolak pengemis yang datang. Bahkan ia mendirikan mushalla dan majelis pengajian serta fasilitas ibadah lainnya.

      Itulah sekelumit kisah tentang Syekh Maulana Malik Ibrahim.

      Sumber:

      http://www.sufiz.com/

      Minggu, 07 Oktober 2012

      Kisah Shohabat Ukasyah

      yoga alfaiz nurdin setiawan ,

      Madinah muram. Di setiap sudut rumah wajah-wajah tertunduk terpekur menatap tanah. Tak ada senyuman yang mengembang, atau senandung cinta yang dilantunkan para ibunda untuk membuai buah hatinya. Sebutir hari terus bergulir, namun semua tetap sama, kelabu.
      Ujung waktu selalu saja hening, padahal biasanya kegembiraan mewarnai keseharian mereka. Padahal semangat selalu saja menjelma.

      Namun kali ini, semuanya luruh. Tatapan-tatapan kosong, desah nafas berat yang terhembus bahkan titik-titik bening air mata keluar begitu mudah. Sahara menetaskan kesenyapan, lembah-lembah mengalunkan untaian keheningan. Kabar sakitnya manusia yang dicinta, itulah muasalnya.

      Setelah peristiwa Haji Wada' kesehatan nabi Muhammad Saw memang menurun. Islam telah sempurna, tak akan ada lagi wahyu yang turun. Semula, kaum muslimin bergembira dengan hal ini. Hingga Abu Bakar mendesirkan angin kematian Rasulullah. Sahabat terdekat ini menyatakan bahwa kepergian kekasih Allah akan segera tiba dan saat itu adalah saat-saat perpisahan dengan purnama Madinah telah menjelang. Selanjutnya bayang-bayang akan kepergian sosok yang selalu dirindu sepanjang masa terus saja membayang, menjelma tirai penghalang dari banyak kegembiraan.

      Dan masa pun berselang, masjid penuh sesak, kaum Muhajirin beserta Anshar. Semua berkumpul setelah Bilal memanggil mereka dengan suara adzan. Ada sosok cinta di sana, kekasih yang baru saja sembuh, yang membuat semua sahabat tak melewatkan kesempatan ini. Setelah mengimami shalat, nabi berdiri dengan anggun di atas mimbar. Suaranya basah, menyenandungkan puji dan kesyukuran kepada Allah yang Maha Pengasih. Senyap segera saja datang, mulut para sahabat tertutup rapat, semua menajamkan pendengaran menuntaskan kerinduan pada suara sang Nabi yang baru berada lagi. Semua menyiapkan hati, untuk disentuh serangkai hikmah. Selanjutnya Nabi bertanya.

      "Duhai sahabat, kalian tahu umurku tak akan lagi panjang, Siapakah diantara kalian yang pernah merasa teraniaya oleh si lemah ini, bangkitlah sekarang untuk mengambil kisas, jangan kau tunggu hingga kiamat menjelang, karena sekarang itu lebih baik".

      Semua yang hadir terdiam, semua mata menatap lekat Nabi yang terlihat lemah. Tak akan pernah ada dalam benak mereka perilaku Nabi yang terlihat janggal. Apapun yang dilakukan Nabi, selalu saja indah. Segala hal yang diperintahkannya, selalu membuihkan bening sari pati cinta. Tak akan rela sampai kapanpun, ada yang menyentuhnya meski hanya secuil jari kaki. Apapun akan digadaikan untuk membela Al-Musthafa.

      Melihat semua yang terdiam, nabi mengulangi lagi ucapannya yang kedua kalinya, dan kali ini suaranya terdengar lebih keras. Masih saja terlihat para sahabat duduk tenang. Hingga ucapan yang ketiga kali, seorang laki-laki berdiri menuju Nabi. Dialah 'Ukasyah Ibnu Muhsin.

      "Ya Rasul Allah, Dulu aku pernah bersamamu di perang Badar. Untaku dan untamu berdampingan, dan aku pun menghampirimu agar dapat menciummu, duhai kekasih Allah, Saat itu engkau melecutkan cambuk kepada untamu agar dapat berjalan lebih cepat, namun sesungguhnya engkau memukul lambung samping ku" ucap 'Ukasyah.

      Mendengar ini Nabi pun menyuruh Bilal mengambil cambuk di rumah putri kesayangannya, Fatimah. Tampak keengganan menggelayuti Bilal, langkahnya terayun begitu berat, ingin sekali ia menolak perintah tersebut. Ia tidak ingin, cambuk yang dibawanya melecut tubuh kekasih yang baru saja sembuh. Namun ia juga tidak mau mengecewakan Rasulullah. Segera setelah sampai, cambuk diserahkannya kepada Rasul mulia. Dengan cepat cambuk berpindah ke tangan 'Ukasyah. Masjid seketika mendengung seperti sarang lebah.

      Sekonyong-konyong melompatlah dua sosok dari barisan terdepan, melesat maju. Yang pertama berwajah sendu, janggutnya basah oleh air mata yang menderas sejak dari tadi, dia lah Abu Bakar. Dan yang kedua, sosok pemberani, yang ditakuti para musuhnya di medan pertempuran, Nabi menyapanya sebagai Umar Ibn Khattab. Gemetar mereka berkata:

      "Hai 'Ukasyah, pukullah kami berdua, sesuka yang kau dera. Pilihlah bagian manapun yang paling kau ingin, kisaslah kami, jangan sekali-kali engkau pukul Rasul"

      "Duduklah kalian sahabatku, Allah telah mengetahui kedudukan kalian", Nabi memberi perintah secara tegas. Ke dua sahabat itu lemah sangsai, langkahnya surut menuju tempat semula. Mereka pandangi sosok 'Ukasyah dengan pandangan memohon. 'Ukasyah tidak bergeming.

      Melihat Umar dan Abu Bakar duduk kembali, Ali bin Abi thalib tak tinggal diam. Berdirilah ia di depan 'Ukasyah dengan berani.

      "Hai hamba Allah, inilah aku yang masih hidup siap menggantikan kisas Rasul, inilah punggungku, ayunkan tanganmu sebanyak apapun, deralah aku"

      "Allah Swt sesungguhnya tahu kedudukan dan niat mu duhai Ali, duduklah kembali" Tukas kekasih yang baru saja sembuh itu.

      "Hai 'Ukasyah, engkau tahu, aku ini kakak-beradik, kami adalah cucu Rasulullah, kami darah dagingnya, bukankah ketika engkau mencambuk kami, itu artinya mengkisas Rasul juga", kini yang tampil di depan Ukasyah adalah Hasan dan Husain. Tetapi sama seperti sebelumnya Rasul menegur mereka. "Duhai penyejuk mata, aku tahu kecintaan kalian kepadaku. Duduklah".

      Masjid kembali ditelan senyap. Banyak jantung yang berdegup kian cepat. Tak terhitung yang menahan nafas. 'Ukasyah tetap tegap menghadap Nabi. Kini tak ada lagi yang berdiri ingin menghalangi 'Ukasyah mengambil kisas. "Wahai 'Ukasyah, jika kau tetap berhasrat mengambil kisas, inilah Ragaku," Nabi selangkah maju mendekatinya.

      "Ya Rasulullah, saat Engkau mencambukku, tak ada sehelai kainpun yang menghalangi lecutan cambuk itu". Tanpa berbicara, Nabi langsung melepaskan pakaian gamisnya yang telah memudar. Dan tersingkaplah tubuh suci Rasulullah. Seketika pekik takbir menggema, semua yang hadir menangis pedih.

      Melihat tegap badan manusia yang di maksum itu, 'Ukasyah langsung menanggalkan cambuk dan berhambur ke tubuh Nabi. Sepenuh cinta direngkuhnya Nabi, sepuas keinginannya ia ciumi punggung Nabi begitu mesra. Gumpalan kerinduan yang mengkristal kepada beliau, dia tumpahkan saat itu. 'Ukasyah menangis gembira, 'Ukasyah bertasbih memuji Allah, 'Ukasyah berteriak haru, gemetar bibirnya berucap sendu, "Tebusanmu, jiwaku ya Rasul Allah, siapakah yang sampai hati mengkisas manusia indah sepertimu. Aku hanya berharap tubuhku melekat dengan tubuhmu hingga Allah dengan keistimewaan ini menjagaku dari sentuhan api neraka".

      Dengan tersenyum, Nabi berkata: "Ketahuilah duhai manusia, barang siapa yang ingin melihat penduduk surga, maka lihatlah pribadi lelaki ini". 'Ukasyah langsung tersungkur dan bersujud memuji Allah. Sedangkan yang lain berebut mencium 'Ukasyah. Pekikan takbir menggema kembali. "Duhai, 'Ukasyah berbahagialah engkau telah dijamin Nabi sedemikian pasti, bergembiralah engkau, karena kelak engkau menjadi salah satu yang menemani Rasul di surga". Itulah yang kemudian dihembuskan semilir angin ke seluruh penjuru Madinah.

      Maka alangkah indahnya saat manusia yang dicinta itu mau dikisas oleh sahabat 'Ukasyah Ibnu Muhsin, kita lah yang diperkenankan untuk menggantikan hujaman dera cambukan yang memilukan itu, yang membuat masjid kala itu mendengung seperti sarang lebah. Serta buliran air mata para sahabat yang tak terbendungkan lagi. sambil berucap "Tidak Ya Rasul Allah,aku saja sebagai ganti kisas yang akan dihujamkan oleh sahabat 'Ukasyah, pukullah aku, Andakain tubuhku hancur berkeping-keping asal engkau tiada luka sama sekali, siapa tega melihat goresan luka ditubuhmu oleh kisas yang akan dilakukan oleh sahabat terkasihmu 'Ukaysah. Maka relakan tubuh hamba hancur hanya untukmu Duhai Pemimpin Kami Duhai Utusan Allah"

      Cerita Asal mula Kakbah



      Allah subhanahu wata'ala telah
      memerintahkan Nabinya Ibrahim 'alaihis
      salam untuk membangun Baitul 'Atiq. Baitul
      'Atiq adalah masjid yang diperuntukkan bagi
      manusia untuk mereka menyembah Allah
      subhanahu wa ta'ala.
      Allah kemudian menunjukkan kepada Nabi Ibrahim
      dimana hendaknya bangunan tersebut dibangun.
      Allah menunjuki Nabi Ibrahim lewat wahyu yang
      diturunkan kepadanya.
      Para ulama salaf mengatakan bahwa di setiap
      tingkat langit terdapat sebuah rumah. Penduduk
      langit tersebut beribadah kepada Allah di rumah
      tersebut. Oleh karena itulah Allah memerintahkan
      Nabi Ibrahim 'alaihissalam membuat bangunan
      seperti itu pula di muka bumi.
      Bagaimanakah kisah pembangunan Ka'bah oleh
      Nabi Ibrahim yang dibantu oleh putra beliau Nabi
      Ismail ini? Kisahnya agak panjang. Kita mulai
      sekarang ya…
      Dahulu, Nabi Ibrahim 'alahissalam membawa istrinya
      Hajar dan putra beliau Ismail ke daerah Makkah.
      Pada saat itu Hajar dalam keadaan menyusui
      putranya.
      Nabi Ibrahim kemudian menempatkan Hajar dan
      Ismail di sebuah tempat di samping pohon besar.
      Pada saat itu, di tempat tersebut tidaklah terdapat
      seorang pun dan tidak pula ada air. Nabi Ibrahim
      kemudian meninggalkan keduanya beserta geribah
      yang di dalamnya terdapat kurma, serta bejana yang
      berisi air.
      Ketika Nabi Ibrahim hendak pergi, Hajar mengikuti
      beliau seraya bertanya,
      "Wahai Ibrahim, kemanakah engkau akan pergi?
      Apakah engkau akan meninggalkan kami padahal di
      lembah ini tidak terdapat seorang pun dan tidak ada
      makanan apapun?"
      Hajar mengucapkannya berkali-kali namun Nabi
      Ibrahim tidak menghiraukannya. Hajar kemudian
      bertanya, "Apakah Allah yang memerintahkan
      engkau berbuat ini?" Nabi Ibrahim kemudian
      menjawab, "Iya." Hajar lalu berkata, "Dia tidak akan
      membiarkan kami". Hajar kemudian kembali.
      Nabi Ibrohim sampai di daerah Tsaniah, di mana
      tidak terlihat lagi oleh keluarga yang beliau
      tinggalkan. Di sana Nabi Ibrahim berdoa,
      Ya Rabb kami, Sesungguhnya aku telah
      menempatkan sebagian keturunanku di lembah
      yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat
      rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, Ya Rabb
      Kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan
      shalat, Maka jadikanlah hati sebagian manusia
      cenderung kepada mereka dan berilah mereka rizki
      dari buah-buahan, Mudah-mudahan mereka
      bersyukur.
      Ketika persediaan air mereka habis, Hajar pun
      mencari air untuk dia dan putranya. Dia pergi ke
      bukit Shafa mencari-cari adakah orang di sana.
      Namun dia tidak menemukan siapapun di sana.
      Hajar pun kemudian pergi ke Marwah dan mencaricari
      orang pula di sana. Dia juga tidak mendapati
      seorang pun.
      Hajar berulang-ulang pergi dari Shafa ke Marwah,
      kemudian sebaliknya dari Marwah ke Shafa, sampai
      tujuh kali. Oleh karena itulah di dalam
      ibadah haji ada yang namanya Sai.
      Yaitu berlari-lari kecil dari Shafa ke
      Marwa dan sebaliknya sampai tujuh
      kali.
      Sampai ke Marwah, Hajar mendengar suara "Diam".
      Dia mendengar suara itu, lalu mencari sumber suara
      itu dan berkata, "Aku telah mendengarmu, apakah
      engkau dapat memberikan bantuan?"
      Ternyata dia berada bersama malaikat di tempat di
      mana terdapat air zam-zam. Lalu malaikat itu
      mengais-ngais tanah hingga akhirnya muncul air.
      Selanjutnya ia pun menuruni air tersebut, mengisi
      bejananya dan kembali ke putranya Ismail kemudian
      menyusuinya.
      Malaikat lalu berkata kepada Hajar, "Janganlah
      engkau takut disia-siakan, karena di sini akan
      dibangun sebuah rumah oleh anak ini dan
      bapaknya. Dan sesungguhnya Allah tidak akan
      menyia-nyiakan keluarganya"
      Setelah beberapa waktu berlalu, serombongan suku
      Jurhum datang ke tempat tersebut. Mereka tinggal di
      sekitar air zam-zam bersama Hajar dan
      Ismail. Ini semua mereka lakukan atas
      izin dari Hajar.
      Nabi Ismail pun kemudian dewasa dan belajar
      Bahasa Arab dari Suku Jurhum tersebut. Beliau juga
      menikah dengan salah seorang wanita mereka.
      Diceritakan pula bahwa Hajar kemudian meninggal
      dunia.
      Pada suatu saat, Nabi Ibrahim datang ingin
      menjenguk Nabi Ismail 'alaihimassalam. Namun
      beliau hanya menemui istri Nabi Ismail saja.
      Nabi Ibrahim bertanya kepada wanita tersebut
      kemana kiranya Nabi Ismail pergi. Istrinya
      menjawab, "Dia sedang mencari nafkah bagi kami."
      Nabi Ibrahim lalu bertanya tentang keadaan mereka.
      Istri Nabi Ismail menjawab, "Kami dalam kondisi
      yang jelek dan hidup dalam kesempitan dan
      kemiskinan."
      Mendengar jawaban tersebut,
      sebelum pulang Nabi Ibrahim
      berpesan kepada wanita itu
      untuk menyampaikan salam
      kepada Nabi Ismail dan
      agar Nabi Ismail
      mengganti
      ambang
      pintunya.
      Setelah Nabi Ismail kembali ke rumah, istrinya pun
      menceritakan peristiwa tadi dan menyampaikan
      pesan Nabi Ibrahim kepada suaminya.
      Mendengar hal tersebut, Nabi Ismail pun berkata
      kepada istrinya, "Itu tadi adalah bapakku. Ia
      menyuruhku untuk menceraikanmu, maka
      kembalilah engkau kepada orang tuamu."
      Nabi Ismail pun menceraikan istrinya tadi sesuai
      dengan pesan Nabi Ibrahim dan kemudian menikah
      lagi dengan seorang wanita dari Bani Jurhum juga.
      Setelah beberapa waktu berlalu, Nabi Ibrahim
      kemudian kembali mengunjungi Nabi Ismail. Namun
      Nabi Ismail tidak ada di rumah. Nabi Ibrahim pun
      menemui isteri Nabi Ismail yang baru.
      Beliau bertanya dimana Nabi Ismail sekarang.
      Istrinya menjawab bahwa Nabi
      Ismail sedang mencari nafkah.
      Nabi Ibrahim juga bertanya
      tentang keadaan mereka.
      Wanita itu menjawab
      bahwa keadaan mereka
      baik-baik saja dan
      berkecukupan, sambil
      memuji Allah azza wa jalla.
      Nabi Ibrahim lalu bertanya tentang makanan
      serta minuman mereka. Wanita itu menjawab
      bahwa makanan mereka adalah daging, adapun
      minuman mereka adalah air. Maka Nabi Ibrahim
      mendoakan kedua hal ini, "Ya Allah berkatilah
      mereka pada daging dan air."
      Setelah itu Nabi Ibrahim pun pergi dari rumah
      Nabi Ismail. Namun sebelumnya dia berpesan
      kepada wanita itu agar Nabi Ismail memperkokoh
      ambang pintunya.
      Ketika Nabi Ismail pulang, beliau bertanya kepada
      istrinya, "Adakah tadi orang yang bertamu?" Istrinya
      menjawab, "Ada, seorang tua yang berpenampilan
      bagus." Dia memuji Nabi Ibrahim.
      "Ia bertanya kepadaku tentang dirimu, maka aku
      jelaskan keadaanmu kepadanya. Dia juga bertanya
      tentang kehidupan kita, dan aku jawab bahwa
      kehidupan kita baik-baik saja."
      Nabi Ismail kemudian bertanya, "Apakah
      dia memesankan sesuatu
      kepadamu?"
      Istrinya kembali menjawab,
      "Ya. Ia menyampaikan salam
      kepadamu dan menyuruhmu
      mengokohkan ambang pintumu."
      Nabi Ismail berkata, "Itu adalah ayahku dan engkau
      adalah pegangan pintu tersebut. Beliau menyuruhku
      untuk tetap menjagamu sebagai istriku."
      Waktu pun berlalu. Suatu saat ketika Nabi Ismail
      sedang meraut anak panah, Nabi Ibrahim pun
      datang. Nabi Ismail pun bangkit menyambutnya, dan
      mereka pun saling melepaskan rindu.
      Selanjutnya Nabi Ibrahim berkata, "Wahai anakku,
      sesungguhnya Allah menyuruhku menjalankan
      perintah."
      Ismail menjawab, "Lakukanlah apa yang
      diperintahkan oleh Rabbmu."
      "Apakah engkau akan membantuku?", Tanya Nabi
      Ibrahim kembali.
      “Aku pasti akan membantumu." seru Ismail.
      Nabi Ibrahim kemudian menunjuk ke
      tumpukan tanah yang lebih tinggi dari yang
      sekitarnya. Beliau berkata, "Sesungguhnya
      Allah menyuruhku membuat suatu rumah di
      sini."
      Pada saat itulah keduanya kemudian
      meninggikan pondasi Baitullah. Ismail mulai
      mengangkut batu, sementara Ibrahim
      memasangnya.
      Setelah bangunan tinggi, Ismail membawakan sebuah
      batu untuk menjadi pijakan bagi Nabi Ibrahim. Batu
      inilah yang akhirnya disebut sebagai maqam Ibrahim.
      Mereka pun terus bekerja sembari mengucapkan doa,
      “Wahai Rabb kami terimalah dari Kami (amalan kami),
      Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi
      Maha Mengetahui".
      Sampai akhirnya tuntaslah pembangunan baitullah itu.
      Ka'bah pun akhirnya berdiri di bumi Allah 'azza wa
      jalla.(*)

      Subscribe To RSS

      Sign up to receive latest news